Harga Minyak Dunia Melejit 3%, Dipicu Harapan Kesepakatan Dagang dan Sanksi Baru AS ke Iran

oleh -15 Dilihat
oleh

Harga minyak mentah global melonjak tajam lebih dari 3% pada Kamis, 17 April 2025, seiring meningkatnya ekspektasi tercapainya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta tekanan baru dari sanksi Washington terhadap ekspor minyak Iran.

Lonjakan ini menjadi kabar segar bagi pasar energi yang selama beberapa pekan terakhir mengalami tekanan akibat ketidakpastian geopolitik dan prospek permintaan yang melemah.

Dilansir dari Ipotnews, minyak mentah Brent, yang menjadi patokan global, ditutup naik sebesar USD2,11 atau 3,2% ke level USD67,96 per barel.

Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal Amerika Serikat mencatat kenaikan lebih besar, yakni USD2,21 atau 3,54%, dan ditutup di angka USD64,68 per barel.

Keduanya mencatatkan kenaikan mingguan pertama dalam tiga pekan terakhir, dengan Brent dan WTI masing-masing menguat sekitar 5% selama sepekan.

Perdagangan pada Kamis menjadi sesi penutupan pekan ini karena libur Paskah, dan volume transaksi diperkirakan lebih tipis dari biasanya. Meski demikian, sentimen positif tetap mendominasi pasar.

Optimisme pasar dipicu oleh pernyataan Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni yang mengisyaratkan sinyal positif dalam penyelesaian ketegangan dagang antara AS dan Uni Eropa.

“Kami tidak akan menemui banyak kendala untuk mencapai kesepakatan dengan Eropa atau negara lain, karena kami punya sesuatu yang dibutuhkan dunia,” ujar Trump.

Pernyataan ini memperkuat harapan bahwa tarif perdagangan yang sempat menekan aktivitas global akan segera mereda.

Direktur Mizuho, Bob Yawger, menilai bahwa kemungkinan tercapainya kesepakatan dagang dengan Eropa bisa mencegah terjadinya penurunan permintaan energi akibat kebijakan tarif yang sebelumnya diterapkan.

Selain faktor dagang, pasar juga terpengaruh oleh sanksi baru yang dikeluarkan pemerintahan Trump terhadap sejumlah entitas yang terkait ekspor minyak Iran.

Termasuk di antaranya adalah kilang minyak kecil di China yang dikenal sebagai “teapot refinery”. Sanksi ini menargetkan perusahaan-perusahaan yang membantu pengiriman minyak Iran ke China sebagai bagian dari apa yang disebut armada bayangan Iran.

“Sanksi ini cukup luas dan secara khusus menekan kilang minyak independen di China,” ungkap John Kilduff, analis dari Again Capital. “Langkah ini bisa berdampak pada pasokan global yang lebih ketat.”

Tak hanya itu, Amerika Serikat juga menetapkan sanksi tambahan terhadap perusahaan dan kapal yang dianggap berperan dalam menyalurkan minyak Iran ke pasar dunia.

Hal ini memperbesar kemungkinan gangguan pasokan, terutama jika negara-negara konsumen utama mulai mengurangi ketergantungan terhadap minyak Iran.

Dari sisi suplai, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengumumkan bahwa pihaknya telah menerima komitmen dari Irak, Kazakhstan, dan beberapa negara lain untuk memangkas produksi sebagai bentuk kompensasi atas pelampauan kuota dalam beberapa bulan terakhir.

OPEC juga menegaskan bahwa mereka masih memiliki ruang fleksibel untuk memangkas output lebih lanjut jika situasi pasar membutuhkan.

Namun demikian, sejumlah lembaga seperti Badan Energi Internasional (IEA), serta bank-bank besar seperti Goldman Sachs dan JPMorgan, minggu ini menurunkan proyeksi harga minyak dan pertumbuhan permintaan.

Penurunan ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa ketegangan perdagangan, terutama akibat kebijakan tarif Amerika dan respons balasan dari negara lain, akan berdampak buruk terhadap arus perdagangan global dan konsumsi energi.

Meski demikian, pasar masih memantau perkembangan geopolitik secara ketat, terutama dinamika antara Iran, China, dan AS, serta langkah lanjutan dari OPEC+ terkait pengendalian pasokan.

Untuk jangka pendek, harga minyak diprediksi masih akan bergerak fluktuatif, namun tekanan pasokan dari sisi geopolitik bisa menjadi faktor pendorong harga tetap tinggi.

Lonjakan harga minyak ini juga menjadi sinyal penting bagi negara-negara penghasil minyak, termasuk Indonesia, yang tengah menjaga stabilitas fiskal dan energi di tengah tekanan ekonomi global.***