Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kini hadir di tengah-tengah kehidupan sehari-hari. Teknologi ini sudah digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari industri, perbankan, hingga pendidikan. Di satu sisi, AI memberi peluang besar untuk mempermudah proses belajar mengajar. Guru bisa terbantu dalam menyusun materi, siswa bisa menemukan jawaban lebih cepat, dan sekolah mampu menghadirkan pembelajaran yang lebih interaktif. Namun, di balik manfaat tersebut, ada sisi gelap yang harus diwaspadai, terutama bagi sekolah anak.
Penggunaan AI secara bebas tanpa pengawasan dapat menimbulkan berbagai persoalan. Anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan intelektual dan emosional bisa dengan mudah bergantung pada teknologi ini. Jika setiap tugas sekolah dikerjakan dengan bantuan AI, maka kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kemandirian anak perlahan akan terkikis. Bukannya melatih daya nalar, mereka justru terbiasa mencari jawaban instan.
Selain itu, kehadiran AI juga menimbulkan persoalan etika. Tidak semua anak mampu membedakan mana karya asli mereka dan mana yang hasil teknologi. Risiko plagiarisme semakin tinggi, sebab banyak siswa yang mungkin tanpa sadar menyerahkan hasil buatan AI seolah-olah itu karya mereka sendiri. Hal ini bukan hanya merugikan diri anak dalam jangka panjang, tetapi juga bisa merusak integritas sistem pendidikan.
Masalah keamanan data juga menjadi ancaman serius. Beberapa aplikasi berbasis AI mengumpulkan data pribadi pengguna, termasuk anak-anak. Jika tidak diatur dengan baik, informasi ini bisa dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab. Bayangkan jika profil, kebiasaan belajar, bahkan preferensi anak disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau hal lain yang berbahaya.
Tak kalah penting, konten yang dihasilkan AI belum tentu selalu benar atau sesuai nilai moral dan budaya. Algoritma hanya mengolah data yang ada di internet, sementara internet sendiri penuh dengan informasi yang belum terverifikasi. Jika anak tidak diawasi, mereka bisa saja menerima informasi keliru, bias, atau bahkan berbahaya dari teknologi ini. Dampaknya bukan hanya pada pemahaman akademik, melainkan juga pada pola pikir dan sikap mereka sehari-hari.
Meski begitu, bukan berarti AI harus dijauhi sepenuhnya dari sekolah. Teknologi ini bisa menjadi alat bantu yang luar biasa bila digunakan dengan bijak. Guru dapat memanfaatkan AI untuk menghemat waktu, seperti membuat soal latihan, merancang materi tambahan, atau memberikan simulasi pembelajaran. Anak-anak pun bisa mengenal teknologi modern sejak dini, asalkan tetap diarahkan agar mereka tetap aktif berpikir dan tidak sekadar menjadi pengguna pasif.
Kuncinya adalah pengawasan dan literasi digital. Sekolah dan orang tua perlu bekerja sama dalam memberikan pemahaman kepada anak tentang bagaimana menggunakan AI dengan benar. Anak-anak perlu diajarkan bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti usaha dan kreativitas mereka sendiri. Dengan begitu, AI dapat menjadi mitra pendidikan, bukan ancaman yang menggerus masa depan mereka.
Pada akhirnya, waspada terhadap penggunaan AI di sekolah bukan berarti menolak teknologi, melainkan memastikan agar penggunaannya tetap berpihak pada anak. Dunia pendidikan seharusnya memanfaatkan AI sebagai penunjang, sambil tetap menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kemampuan berpikir kritis. Dengan keseimbangan itu, generasi muda tidak hanya melek teknologi, tetapi juga tumbuh dengan integritas dan kecerdasan sejati.