Dua Aktivis Afrika Timur Akan Gugat Pemerintah Tanzania atas Penyiksaan dan Penahanan Ilegal

oleh -12 Dilihat
oleh
Agather Atuhaire dan Boniface Mwangi saat memberikan pidato pada konferensi pers di Nairobi pada tanggal 2 Juni | Foto: Thomas Mukoya/Reuters

Dua aktivis hak asasi manusia dari Afrika Timur, Boniface Mwangi (Kenya) dan Agather Atuhaire (Uganda), berencana menggugat pemerintah Tanzania atas dugaan penahanan ilegal dan penyiksaan yang mereka alami saat menghadiri persidangan politisi oposisi, Tundu Lissu, pada Mei lalu.

Dilansir dari The Guardian, dalam konferensi pers pada awal Juni, keduanya mengungkap perlakuan kejam yang mereka alami, termasuk kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan perlakuan tidak manusiawi selama ditahan di Dar es Salaam. Mereka menyebut telah dibawa paksa dari hotel oleh oknum aparat keamanan, kemudian mengalami siksaan brutal dalam tahanan.

“Kami tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja,” ujar Mwangi, seorang jurnalis foto sekaligus aktivis ternama di Kenya. Atuhaire, pengacara dan kritikus pemerintahan Uganda, menambahkan, “Kami perlu memastikan bahwa mereka yang melakukan kekerasan seperti ini dimintai pertanggungjawaban.”

Keduanya mengatakan bahwa saat dalam tahanan, mereka dipukuli, ditelanjangi, digantung terbalik, dan dipukul menggunakan papan kayu. Mereka bahkan mengaku dipaksa bungkam dengan cara yang keji, termasuk pelecehan seksual serta pengolesan kotoran pada tubuh. Setelah dua hari, mereka dibuang di perbatasan negara masing-masing dalam kondisi luka parah.

Langkah hukum akan diajukan ke pengadilan Tanzania, juga ke Mahkamah Afrika Timur dan Pengadilan Afrika untuk Hak Asasi Manusia.

Juru bicara kepolisian Tanzania belum memberikan komentar resmi. Namun, perwakilan Tanzania untuk PBB, Abdallah Possi, menyatakan bahwa pemerintah tengah menyelidiki tuduhan tersebut dan akan menindak tegas pelaku jika terbukti bersalah.

Kasus ini menambah daftar panjang dugaan pelanggaran HAM di Tanzania, termasuk penculikan, pembunuhan, dan penangkapan tokoh oposisi sepanjang tahun lalu. Di antaranya adalah kematian aktivis Chadema, Mohamed Ali Kibao, serta penyerangan terhadap Pastor Charles Kitima yang dikenal vokal menyuarakan demokrasi.

Presiden Samia Suluhu Hassan kini berada di bawah sorotan menjelang pemilu Oktober 2025, yang akan menjadi ujian kepemimpinan pertamanya sejak menggantikan John Magufuli. Padahal, saat awal menjabat, ia sempat mendapat apresiasi karena membuka ruang dialog politik.

Namun, sejumlah kebijakan belakangan ini dinilai represif. Penangkapan terhadap Tundu Lissu atas tuduhan pengkhianatan, pembubaran partai oposisi Chadema dari daftar peserta pemilu, dan intimidasi terhadap aktivis asing, dinilai sebagai upaya menekan suara-suara kritis.

“Apa yang Suluhu coba lakukan adalah memenangkan pemilu dengan cara apa pun,” kata Mwangi. “Ia mengikuti buku panduan diktator: kekerasan dan ketakutan.”

Sementara itu, pengamat HAM Tanzania, Maria Sarungi Tsehai, menyebut penargetan warga negara asing sebagai bentuk kepanikan politik. “Ini adalah tanda bahaya bagi demokrasi Tanzania,” ujarnya dari pengasingan di Nairobi.

Kasus ini telah memicu kecaman internasional dan menyerukan agar pemerintah Tanzania membuka jalur keadilan bagi para korban serta memastikan pemilu berlangsung adil dan demokratis.

— The Guardian