BERITA JAKARTA – Panjat tebing jadi salah satu cara asyik menikmati liburan di Bandung. Begini berdebarnya!
Setelah sekian kali melakukan perjalanan ke tebing, baru kali itu saya ada kesempatan untuk leading‚ jalur trad. Sebelumnya, cuma pernah cleaning, top roping, dan sebagainya. Pernah juga sih, nge-lead jalur sport multipitch, tapi beberapa bulan yang lalu saya bahkan nggak akan berani mikir buat leading jalur trad!
Trad climbing ini, bagi traveler yang belum tahu, adalah jenis pemanjatan yang mengharuskan pemanjat memasang pengaman sendiri dengan cara menyisipkannya ke celah-celah tebing. Rasa takut adalah salah satu alasan kenapa saya belum pernah mencoba leading jalur trad.
Tapi semakin lama dan semakin terbiasa dengan dunia panjat tebing, rasa takut itu jadi tergantikan dengan rasa penasaran. Saya mau banget leading jalur trad! Keinginan itu akhirnya bisa terpenuhi di salah satu jalur trad di Citatah 125. Jalur trad yang paling mudah di situ lebih tepatnya.
Saya heran. Kenapa saat saya di kaki tebing dan udah mulai manjat saya nggak terlalu merasa takut? Sebelumnya, saat masih siap-siap, saya sempat takut. Tapi sambil mempersiapkan alat, saya keluarin rasa takut yang ada dengan teriak-teriak nggak jelas. Saya kira sesi teriak-teriak itu yang menghilangkan rasa takut dari pikiran bawah sadar saya. Meskipun begitu, tetap saja saya heran. Kenapa dulu saya yang takut dengan ketinggian tiba-tiba dengan mudahnya nggak merasa takut lagi menghadapi kenyataan bahwa sebentar lagi saya akan memanjat sebuah dinding, tanpa pengaman apa-apa dari atas, dan malah saya sendiri yang akan memasang pengaman-pengaman itu.
Setelah kira-kira dua gerakan ke atas, saya pasang prusik di sebuah lubang tembus. Huff, lega rasanya. Haha, kocak banget gak sih? Padahal baru berjarak dua meter dari tanah! Kemudian, saya dengan berisik bertanya ke Fadli, yang menjadi orang di ujung lain dari tali yang tersimpul di harness saya, alias belayer.
Kemudian pada beberapa pengaman sisip berikutnya yang saya pasang, terjadi percakapan yang hampir sama persis seperti itu. Sampai akhirnya saya udah terlalu tinggi dan terlalu capek buat teriak-teriak ke bawah. Lagipula, jawaban dia jadi semakin sulit terdengar karena berisiknya suara pabrik marmer yang terletak di dekat tebing. Ya sudah, saya pasang aja quickdraw yang panjangnya saya perkirakan cukup. Kemudian saya lanjut ke atas.
Saat saya memasang pengaman sisip jenis friend pertama saya merasa sedikit ragu. saya takut ‘friend’ itu bakal lepas sebelum saya bisa pasang pengaman selanjutnya! Kalau saya jatuh dan friend itu lepas, saya bakal terhempas ke tanah karena tali antara saya dan pengaman pertama (lubang tembus) masih lebih panjang daripada tali antara lubang tembus itu dengan Fadli/tanah. Intinya, kalau baru setinggi itu saya jatuh, bakal kena tanah deh.
Saking nggak sanggup mikirin kemungkinan itu, saya memilih untuk sama sekali nggak mikirin jatuh. Sebagai gantinya, saya mikirin di mana sebaiknya saya menginjakkan kaki supaya makin mudah bergerak ke atas. It worked! saya nggak mikirin kenyataan bahwa saya sedang berada di ketinggian sehingga bisa dengan lebih santai melanjutkan bergerak ke atas.
Singkat cerita, ketika saya tinggal tiga meter lagi dari pitch 1, terdapat bagian dari tebing di jalur itu yang memungkinkan pemanjat untuk duduk. Jadi, saya duduk sebentar sambil mencari celah buat memasang pengaman sisip lainnya. Tiba-tiba saya diteriakin sama Fadli dari bawah. Dia nyuruh saya buat buruan karena hawa sudah semakin panas. Setelah meneriakkan kata-kata balasan ke dia, saya lanjut melakukan beberapa gerakan lagi ke atas, hingga sampailah saya di pitch pertama Citatah 125 yang biasa kami sebut sebagai Goa.
Tantangan selanjutnya adalah membuat anchor dan bersiap untuk upper belaying (mengamankan pemanjat kedua dari atas). Dua hal yang sebenarnya sudah pernah gua lakukan, tapi karena jarang diasah, alhasil gua jadi ragu untuk melakukannya. Apalagi, saya benar-benar sendirian di atas sana. Hanya ada Pujas, salah satu teman saya, yang berjarak beberapa meter di jalur trad sebelah kanan.
Sambil melakukan apa yang saya ingat, sesekali saya bertanya ke Pujas untuk memastikan apakah yang sudah saya lakukan benar atau salah. Yah, walaupun sebenarnya secara logika, Pujas posisnya cukup jauh untuk dapat melihat jelas apa yang sedang saya kerjakan, namun approval dari dia cukup membuat hati saya tenang.
Seketika pemikiran saya bakal bikin anchor dan sistem upper belay yang salah sehingga kalau Fadli jatuh saya ikut ke bawah pun menghilang. Meskipun Fadli sebenarnya hampir mustahil sih untuk jatuh di jalur itu. Kemampuan memanjat Fadli jauh lebih tinggi daripada tingkat kesulitan pemanjatan jalur itu. Tapi saat berada di medan, lebih baik khawatir daripada sombong kan?
Kemudian, setelah Muti sampai di pitch 1 dengan cara jumaring dan setelah hauling tas isi kamera dan perbekalan, Fadli naik. Dengan sedikit kaku, saya merapikan tali sambil melakukan upper belaying. Hingga akhirnya dia muncul di hadapan saya dan mengajak saya untuk fist bump.
Tahu tidak? Dia bilang, friend pertama yang saya pasang langsung copot setelah naik satu gerakan. Serius? Syukurlah saya tidak tahu. Kalau tahu mungkin manjatnya bakal jadi gugup. Tapi selain itu, pengaman lainnya yang saya pasang aman dan bagus.
Betapa serunya pengalaman saya pada hari itu! Meskipun sempat tegang, takut dan bahkan sempat gagal memasang pengaman sisip dengan baik, namun semua kejadian dan perasaan itu hanya membuat saya ketagihan dan ingin mencoba lagi pada berbagai kesempatan berikutnya.(Liputan Terkini)